PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
Tugas ini disusun guna memenuhi Makalah Semester II
Tugas Mata Kuliah : Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu : Hasanain Haikal, SH, MH
DISUSUN OLEH :
Nor Wibowo Saputra : 1420310126
Novi Suhesti :
1420310129
Ahmad Zunaidi : 1420310139
JURUSAN MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH( MBS )
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Urgensi bisnis tidak di pandang
sebelah mata. Bisnis selalu memegang peranan vital di dalam kehidupan sosial
dan ekonomi manusia sepanjang masa. Hal ini pun masih berlaku di era kehidupan
kita. Karena kekuatan ekonomi mempunyai kesamaan makna dengan kekuatan politik,
sehingga urgensi bisnis mempengaruhi semua tingkat individu, sosial, regional,
nasional dan internasional. Tidaklah mengherankan apabila jutaan Muslim dewasa
ini terlibat dalam berbagai kegiatan bisnis atau yang lainya.
Keterlibatan Muslim di dalam dunia
bisnis bukanlah merupakan suatu fenomena baru. Kenyataan tersebut telah
berlangsung sejak empat belas abad yang lalu. Hal tersebut tidaklah mengejutkan
karena Islam menganjurkan umatnya untuk melakukan kegiatan bisnis. Rasulullah
SAW sendiri telah terlibat di dalam kegiatan ini selama beberapa tahun.
Namun, Muslim dewasa ini menghadapi
suatu masalah yang sangat dilematis. Meskipun berpartisipasi aktif dalam dunia
dunia bisnis, namun dalam pikiran mereka juga ada semacam ketidakpastian apakah
praktek-praktek bisnis mereka benar menurut pandangan Islam. Tetapi bukan hal
itu yang membingungkan mereka karena
mereka mengetahui bahwa kegiatan bisnis merupakan hal yang sah dan boleh
dilakukan. Akan tetapi bentuk-bentuk baru, institusi, metode dan teknik-teknik
bisnis yang sebelumnya belum pernah ada telah menyebabkan keraguan tersebut.
Selain karena hal-hal tersebut adalah baru, bentuk-bentuk bisnis ini telah
menjadi tenar dan populer yang sekaligus menjadi bagian yang integral dari sistem
ekonomi kontemporer. Karena umat Islam
tidak yakin, apakah beberapa institusi dan praktek bisnis modern ini sesuai
dengan ajaran Al-Qur’an, maka dalam beberapa kasus, mereka tetap mengikuti
sistem tersebut dengan perasaan bersalah karena mereka tidak menemukan jalan
keluar.
Apakah masalah yang dikemukakan di
muka adalah benar atau sekedar anggapan, karena sedikitnya pengetahuan
terdahulu tentang hal itu, maka dibutuhkan investigasi lebih lanjut. Ada juga
kebutuhan yang mendesak untuk dicarikan suatu formula yang jernih berkenaan
dengan etika bisnis Islam yang mampu berperan sebagai dasar pijakan untuk
memastikan validitas dari praktek bisnis.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Definisi
Etika Bisnis Islam ?
2.
Bagaimana
Pandangan Islam Tentang Etika Bisnis ?
3.
Apa Saja
Perilaku Bisnis Yang Sah dan Yang Terlarang ?
4.
Apa Saja Prinsip
Etika Bisnis Islam ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Definisi Etika Bisnis Islam
Etika bisnis di definisikan sebagai
seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar dan salah dalam dunia bisnis
berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas. Dalam arti lain etika bisnis
berarti seperangkat prinsip dan norma dimana para pelaku bisnis harus komit
padanya dalam bertransaksi, berperilaku dan berelasi guna mencapai ‘daratan’
atau tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.
Dan ini yang menjadi kriteria penghargaan
dan peringatan/tindakan (a set of
principles and norms to which business people should adhere in their business
dealings, conduct, and realtions in order to reach the shores of safety. It is
also a criterion for reward or punishment).
Dengan demikian, maka belajar etika
bisnis berarti ‘learning what is right or
wrong’ yang dapat membekali seseorang untuk berbuat the right thing yang didasari oleh ilmu, kesadaran, dan kondisi
yang berbasis moralitas. Namun terkadang etika bisnis dapat berarti juga etika
manajerial (management ethics)atau
etika organisasional yang disepakati oleh sebuah perusahaan. Selain itu etika
bisnis juga dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam
ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi tentang perbuatan baik, buruk, terpuji,
tercela, benar, salah, wajar, tidak wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku
seseorang dalam berbisnis atau bekerja.[1]
Kata bisnis di dalam Al-Qur’an
yaitu al-tijarah dan dalam bahasa arab tijaraha, yang bermakna berdagang atau
berniaga. Jadi, Etika Bisnis adalah
standar-standar nilai yang menjadi pedoman atau acuan manajer dan segenap
karyawan dalam pengambilan keputusan dan mengoperasikan bisnis yang etik.[2]
Secara sederhana mempelajari etika
dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik/buruk, benar/salah
dalam dunia bisnis berdasarkan kepada prinsip-prinsip moralitas. Kajian etika
bisnis terkadang merujuk kepada management
ethics atau organizational ethics. Etika
bisnis dapat berarti pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi
dan bisnis. Moralitas disini sebagaimana disinggung diatas berarti: aspek
baik/buruk, terpuji/tercela, benar/salah, wajar/tidak wajar, pantas/tidak
pantas dari perilaku manusia. Kemudian dalam kajian etika bisnis islam susunan adjektive diatas ditambah dengan
halal-haram (degrees of lawful and lawful) sebagaimana yang
disinyalir oleh Husein Sahatah, dimana beliau memaparkan sejumlah perilaku etis
bisnis (akhlaq al islamiyah) yang
dibungkus dengan dhawabith syariyah
(batasan syariah) atau general guidline
menurut Rafik Issa Beekun.[3]
2.
Pandangan Islam Tentang Etika Bisnis
Menurut sumber-sumber literaur mengatakan
bahwa, etika bisnis di dasari oleh ajaran-ajaran agama. Dalam ajaran Judaism
misalnya punya literatur yang banyak dan kode hukum tentang akumulasi dan
penggunaan kekayaan. Dasar literatur dan kode hukum tersebut adalah taurat yang
dikembangkan dalam Mishnah dan Talmud. Begitu juga dengan ajaran agama Kristen.
Adapun agama Islam banyak sumber
literatur yang tersedia dan kode hukum yang mengatur masalah harta dan kekayaan
yang merujuk pada kitab Al-Qur’an dan diterjemahkan dalam bentuk hadist-hadist
Rasulullah SAW. Tetapi inisiatif yang dilakukan oleh tiga agama Samawi (Islam,
Kristen, dan Yahudi) yang di prakarsai HRH. Price Philip (the Duke of Edinburgh) dan putra mahkota Hassan bin Talal (Jordan)
tahun 1984 sepakat meletakkan prinsip-prinsip etika dalam bisnis. Ada tiga isu
etika dalam bisnis yang diklasifikasi waktu itu yaitu, moralitas dalam sistem
ekonomi, moralitas dalam kebijakan organisasi yang terlibat dalam bisnis, serta
moralitas perilaku individual para karyawan saat bekerja.
Dalam deklarasi yang dilakukan ada
perbedaan-perbedaan yang menonjol dalam perspektif ajaran agama masing-masing,
namun tiga hal diatas menjadi titik temu yang disepakati oleh ketiganya. Semua
sepakat bahwa kerangka hukum berbisnis berbeda dari satu negara dengan lainya
yang harus diakui oleh semua dimana hukum nasional berlaku bagi sebuah
perusahaan yang terdaftar dinegara tersebut dengan tidak memandang
kewarganeraan pemilik atau manajernya.
Deklarasi yang dikeluarkan oleh tiga
agama tersebut menghasilkan kesepakatan untuk menjunjung empat prinsip yang krusial,
yaitu: keadilan (justics) saling
menghormati (mutual respect),
kepercayaan (trusteeship), dan
kejujuran (honesfy).[4]
Adapun pemikiran politik Islam dalam
konsep etika bisnis sangat erat hubunganya dengan universalitas ajaran islam
itu sendiri, dimana konsep akidah yang berawal dari konsep ‘syahadatain’ yang mengakui keesaan Allah sebagai Sang Pencipta,
Tuhan segala sesuatu dan pengaturnya serta pengakuan terhadap Rasulullah SAW.
Sebagai utusan-Nya adalah pihak yang harus diteladani dalam seluruh aspek
kehidupanya. Artinya, bahwa konsep akidah yang demikian harus diejawantahkan
dalam potret nyata ibadah kepada
Allah sebagai konsep interaksi vertikal dan akhlak
(etika) dalam konsep interaksi horizontal. Konsep akidah, ibadah, dan akhlak
yang demikian mengatur keseluruhan hidup seorang muslim selama 24 jam, tanpa
membedakan antara realitas hidup pribadi ataupun publik, termasuk dunia bisnis.
3.
Perilaku Bisnis Yang Sah dan Yang Terlarang
A. Perilaku Bisnis Yang
Sah
1. Kebebasan Dalam
Usaha Ekonomi
- Pengakuan dan penghormatan pada
kekayaan pribadi
- Legalitas dagang
- Persetujuan mutual
2. Keadilan/Persamaan
- Imperatif (Bentuk Perintah)
- Perlindungan
3. Tatakrama :
Diperintahkan dan dipuji
- Murah hati
- Motivasi untuk berbakti
- Kesadaran akan Allah dan prioritas
utama-Nya
4. Bentuk-bentuk
Transaksi
- Transaksi secara umum
- Syarikah (Partnership)
B. Perilaku Bisnis Yang
Terlarang
1. Riba
- Penjelasan tentang riba
- Larangan riba
- Kejahatan riba
2. Penipuan
- Tathfif (curang dalam timbangan)
- Tidak jujur
- Kebohongan dan pengingkaran janji
-
Serbaneka penipuan transaksi
3. Beberapa Bisnis Lain
Yang Tidak Sah
- Mengkonsumsi hak milik orang lain
dengan cara yang batil
- Tidak menghargai prestasi
- Partnership yang invalid
- Pelanggaran dalam pembayaran gaji
dan hutang
- Penimbunan
- Penentuan harga yang Fix
- Proteksionisme
- Hima dan monopoli
- Melakukan hal yang melambungkan harga
- Tindakan yang menimbulkan kerusakan
- Pemaksaan[5]
4.
Prinsip Etika Bisnis Islam
Sejumlah aksioma dasar (hal yang
sudah menjadi umum dan jelas kebenaranya) sudah dirumuskan dan dikembangkan
oleh para sarjana muslim. Aksioma-aksioma ini merupakan turunan dari hasil
penerjemahan kontemporer akan konsep-konsep fundamental dari nilai moral
Islami. Dengan begitu, aspek etika dalam bahasan ini sudah di insert dan di internalisasi dalam
pegembangan sistem etika bisnis. Rumusan aksioma ini diharapkan menjadi rujukan
bagi moral awareness parapebisnis
muslim untuk menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjalankan
bisnisnya.
a) Unity (Persatuan)
Alam semesta, termasuk manusia,
adalah milik Allah, yang memiliki kemahakuasaan (kedaulatan) sempurna atas
makhluk-makhluk-Nya. Konsep tauhid (dimensi vertikal) berarti Allah sebagai
Tuhan Yang Maha Esa menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia
sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan
hak-hak individu lainya.
Masudul Alam Choudhury dalam
pemaparanya mengenai endogeneity of
ethics in islamic socio-scientific
order menyatakan bahwa Ibnu Arabi dan para filsuf atomism dari arsharites
(Qadri: 1988) menyakini bahwa mencermati keberaturan segala sesuatu di alam
semesta ini berarti dapat menembus esensi dari keesaan Tuhan (the essence of the Oneness of Gold).
Hal ini berarti pranata sosial,
politik, agama, moral, dan hukum yang mengikat masyarakat berikut perangkat
institusionalnya disusun sedemikian rupa dalam sebuah unit bersistem terpadu
untuk mengarahkan setiap individu manusia, sehingga mereka dapat secara baik
melaksanakan, mengontrol, serta mengawasi aturan-aturan tersebut. Berlakunya
aturan-aturan ini selanjutnya akan membentuk ethical organizational climate
tersendiri pada ekosistem individu dalam melakukan aktivitas ekonomi.
Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam
hubungan vertikal dengan kekuatan tertinggi (Allah SWT.), dan hubungan
horizontal dengan kehidupan srsama manusia dan alam semesta secara keseluruhan
untuk menuju tujuan akhir yang sama.[6]
b) Equilibrium
(Keseimbangan)
Dalam beraktivitas di dunia kerja
dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali pada pihak
yang tidak disukai. Pengertian adil dalam Islam diarahkan agar hak orang lain,
hak lingkungan sosial, hak alam semesta dan hak Allah dan Rasu;nya berlaku
sebagai stakeholder dari perilaku
adil seseorang. Semua hak-hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya
(sesuai aturan syariah). Tidak mengakomodir salah satu hak datas, dapat
menempatkan seseorang tersebut pada kezaliman. Karenanya orang yang adil akan
lebih dekat kepada ketakwaan.
Berlaku adil akan dekat dengan
takwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah),
Islam melarang untuk menipu walaupun hanya ‘sekadar’ membawa sesuatu pada
kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti
adanya gangguan pada mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting
mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (asyimetric information). Gangguan pada
mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam
permintaan.
Islam mengharuskan penganutnya untuk
berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan berlaku adil harus didahulukan
dari berbuat kebajikan. Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling mendasar
adalah dalam menentukan mutu (kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap
takaran maupun timbangan. Allah berfirman: Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. (al-Anaam:152)[7]
c) Free Will (Kehendak
Bebas)
Konsep Islam memahami bahwa
institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kehidupan ekonomi.
Hal ini dapat berlaku bila prinsip persaingan bebas dapat berlaku secara
efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun,
tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegiatan monopolistik.
Manusia memiliki kecenderungan
untuk berkompetisi dalam segala hal, tak terkecuali kebebasan dalam melakukan
kontrak dipasar. Oleh sebab itu, pasar eharusnya menjadi cerminan dari
berlakunya dari hukum penawaran dan permintaan yang direpresentasikan oleh
harga, padar tidak terdistorsi oleh tangan-tangan yang sengaja mempermainkanya.
Bagi Smith bila setiap individu diperbolehkan mengejar kepentinganya sendiri
tanpa adanya campur tangan pihakk pemerintah, maka ia seakan-akan dibimbing
oleh tangan yang tak tampak (the
invisible hand), untuk mencapai yang terbaik pada masyarakat.
Kebebadan ekonomi tersebut juga
diilhami oleh pendapat Legendre yang di tanya oleh Menteri Keuangan Perancis
pada masa pemerintahan Louis XIV pada akhir abad ke-17, yakni Jean Bapiste
Colbert. Bagaimana kiranya pemerintah dapat membantu dunia usaha, Legendre
menjawab: “Laissez nous faire” (jangan mengganggu kita, {leave us alone}), kita
ini dikenal kemudian sebagai laissez faire. Dewasa ini prinsip laissez faire
diartikan sebagai tiadanya intervensi pemerintah.[8]
d) Responsibility
Aksioma tanggung jawab individu
begitu mendasar dalam ajaran-ajaran Islam. Terutama jika dikaitkan dengan
kebebasan ekonomi. Penerimaan pada prinsip tanggung jawab individu ini berarti
setiap orang akan diadili secara personal dihari Kiamat kelak. Tidak ada satu
cara pun bagi seseorang untuk melenyapkan perbuatan-perbuatan jahatnya kecuali
dengan memohon ampunan Allah dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik (amal
saleh). Islam sama sekali tidak mengenal konsep dosa warisan, (dan karena itu)
tidak ada seorang pun bertanggung jawab atas kesalahan-kesalahan orang lain.
Setiap individu mempunyai hubungan
langsung dengan Allah. Tidak ada perantara sama sekali. Nabi SAW. Sendii
hanyalah seorang utusan (rasul) atau kendaraan untuk melewatkan petunjuk Allah
yang diwahyukan untuk kepentingan umat manusia. Ampunan harus diminta secara
langsung dari Allah. Tidak ada seorang pun memiliki otoritas untuk memberikan
keputusan atas nama-Nya. Setiap individu mempunyai hak penuh untuk
berkonsultasi dengan sumber-sumber Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) untuk
kepentinganya sendiri. Setiap orang dapat menggunakan hak ini, karena hal ini
merupakan landasan untuk melaksanakan tanggung jawabnya kepada Allah.[9]
e) Benevolence
Ihsan (benevolence), artinya
melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang
lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut
(Beekun, 1997) atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan-akan
melihat Allah, jika tidak mampu, maka yakinlah Allah melihat. Siddiqi (1979)
melihat bahwa keihsanan lebih penting kehadiranya ketimbang keadilan dalam
kehidupan sosial. Karena menurutnya keadilan hanya merupakan “the corner stone
of society”, sedangkan Ihsan adalah “beauty, and perfection” sistem sosial. Jika
keadilan dapat menyelamatkan lingkungan sosial dari tindakan-tindakan yang
tidak diinginkan dan kegetiran hidup, ke-ihsan-an justru membuat kehidupan
sosial ini menjadi manis dan indah.
Problematika yang terjadi sesama
muslim dalam aktivitas perekonomian saat ini, selalu saja disebabkan oleh
karena kita kerap meninggalkan ajaran islam, sehingga lantas saja memosisikan
kaum muslimin dalam keadaan tertuduh bahwa mereka tidak mampu menjalankan
proyek dan mengelola bisnis dan transaksi. Kemudian pada saat yang sama,
kondisi seperti ini justru memberikan kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk
menuduh Islam dengan pernyataan bahwa syariat Islam tidak mampu untuk
menjalankan dan mengelola proyek dalam bidang garapan ekonomi dan keuangan.[10]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika bisnis dapat berarti juga etika
manajerial (management ethics)atau etika organisasional yang disepakati
oleh sebuah perusahaan. Selain itu etika bisnis juga dapat berarti pemikiran
atau refleksi tentang moralitas dalam ekonomi dan bisnis, yaitu refleksi
tentang perbuatan baik, buruk, terpuji, tercela, benar, salah, wajar, tidak
wajar, pantas, tidak pantas dari perilaku seseorang dalam berbisnis atau
bekerja
Menurut sumber-sumber literaur
mengatakan bahwa, etika bisnis di dasari oleh ajaran-ajaran agama. Adapun agama Islam banyak sumber
literatur yang tersedia dan kode hukum yang mengatur masalah harta dan kekayaan
yang merujuk pada kitab Al-Qur’an dan diterjemahkan dalam bentuk hadist-hadist
Rasulullah SAW. Tetapi inisiatif yang dilakukan oleh tiga agama Samawi (Islam,
Kristen, dan Yahudi) yang di prakarsai HRH. Price Philip (the Duke of
Edinburgh) dan putra mahkota Hassan bin Talal (Jordan) tahun 1984 sepakat
meletakkan prinsip-prinsip etika dalam bisnis. Ada tiga isu etika dalam bisnis
yang diklasifikasi waktu itu yaitu, moralitas dalam sistem ekonomi, moralitas
dalam kebijakan organisasi yang terlibat dalam bisnis, serta moralitas perilaku
individual para karyawan saat bekerja.
Ada 5 Prinsip Etika Bisnis Islam, diantaranya:
a) Unity (Persatuan)
b) Equilibrium
(Keseimbangan)
c) Free Will (Kehendak Bebas)
d) Responsibility
e) Benevolence
B.
Saran
Dari beberapa buku referensi yang
kami baca, kami dapat menemukan materi mengenai hal-hal yang dibahas dalam
makalah ini. Namun kami yakin makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dan
kami juga yakin dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan, baik isi,
tata bahasa, maupun penyusunanya, maka kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Maka dari itu masukan atau saran dari pembaca sangat kami harapkan demi
sempurnanya makalah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, ANDI,
Yogyakarta, 2012
Faisal
Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam,
KENCANA, Jakarta, 2006
Mustaq
Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam,
PUSTAKA AL-KAUTSAR Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur – 13420, 2001
[1] Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA,
Jakarta, 2006, hlm. 16
[2] Budi Untung, Hukum dan Etika Bisnis, ANDI,
Yogyakarta, 2012, hlm. 61
[3] Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA,
Jakarta, 2006, hlm. 71
[4] Ibid, hlm. 20
[5] Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, PUSTAKA
AL-KAUTSAR Jln. Cipinang Muara Raya No. 63 Jakarta Timur – 13420, 2001, hlm.
151
[6] Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, KENCANA,
Jakarta, 2006, hlm. 90
[8] ibid, hlm. 95
[9] Ibid, hlm. 101
[10] Ibid, hlm. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar